Posted by : tulisan kaca marlinara Sabtu, 14 Juni 2014




Omak[1]
             Omak masih terbaring sakit padahal esok adalah hari penyeleksian. Seharusnya hari ini Asti berada di kota untuk berlatih dan mengumpulkan berkas-berkas persyaratannya. Hatinya semakin gundah, tak tenang. Impiannya atau menunggui Omak kah yang lebih penting?  
            Tak berapa lama hand phonenya berdering, segera dia angkat,
            “Halo? Asti, kamu sekarang di mana?” suara di telepon terdengar.
            “Aku masih di kampung Ra!”
            “Ya ampun!  Asti..., seleksi pertukaran Pemuda Indonesia-Kanada akan dimulai besok pagi. Tak ada waktu lagi, kamu harus ke kota secepatnya kalau bisa sekarang juga!” desak seseorang yang meneleponnya.
            Asti bingung dan langsung memutus teleponnya, sungguh ucapan temannya tadi membuat dirinya semakin gamang. Dilihatnya ketiga adiknya tengah duduk di dekat ranjang Omak, menatapnya. Aan, adiknya yang jauh lebih besar dari kedua adiknya yang lain memahami keadaan Asti.
            Uni[2] hendak ke kota?” tanyanya, Asti menghela nafas.
            “Ya..., tapi Omak...” ucap Asti serba salah.
            Omak biar kami bertiga yang jaga, iya kan dek?” ujar Aan disertai anggukkan kedua adiknya.
            “Benarkah?” Asti bertanya kelu.
            “Ya, Uni! Bukankah Omak ingin melihat Uni bisa keluar negeri?” ucap Endi, adik pengais bungsunya.
            “Besok adalah kesempatan Uni supaya saat Omak sadar Omak sudah bangga melihat Uni.” Adik bungsunya tak ketinggalan menambahkan.
            Asti terharu, dia langsung memeluk ketiga adiknya. Air matanya luruh.
            “Makasih ya, Uni titip Omak...” ucap Asti serak.
***
            Asti melangkah melewati lorong Rumah Sakit sembari membawa berkas-berkasnya, dia akan ke kota sekarang juga. Namun, belum saja dia meninggalkan wilayah Rumah Sakit, warna suara yang dia kenal memanggil-manggilnya. Dia menoleh mencari sumber suara. Tampaklah di lensa matanya sosok yang tak asing lagi baginya.
            Ante[3] Eti?” ujar Asti  seraya menyalaminya.
            “Kapan datang ke mari?” tanya sosok yang dipanggil Ante.
            “Sudah tiga hari, Ante. Ante mau menjenguk Omak?” Jawab Asti sambil mengulum senyum. Ante Eti mengangguk.
            “Aku sering datang buat jenguk Omakmu. Lalu sekarang mau ke mana?” Ante Eti menatap Asti dalam.
            “Ke kota Ante, mau ikut seleksi pertukaran pemuda.” Jawab Asti mengalir tanpa beban bahkan tercampuri sedikit rasa bangga. Namun, entah mengapa rona wajah Ante Eti berubah. Tanpa aling-aling dan persangkaan tiba-tiba,
            “Plak!” Ante Eti menampar pipi kiri Asti. Asti tersentak, mengerang kesakitan. Mulutnya ternganga hendak berujar namun Ante Eti mendahuluinya,
            “Kamu benar-benar anak tak tahu diri! Omakmu sedang koma, tapi kenapa kamu malah tak ingin menjaganya sampai benar-benar pulih? Tak ingatkah pada pengorbanan Omakmu selama ini, hah?” Ante Eti berujar geram. Kedua mata Asti berkaca-kaca. Mengapa Ante Eti sampai hati mengatainya begitu? Sungguh dia sangat ingat bahkan ingat betul pengorbanan Omak untuknya.
***
Jemarinya sedari tadi membolak-balik kertas bergambar gedung bertingkat nan megah.  Sekian detik terhitung namun tiba-tiba hembusan nafasnya mendadak berat, gelengan kepala tercipta.  Kedua matanya kini tidak fokus menatap kertas itu lagi, hanya menerawang, melihat alam sore yang memamerkan kepulangan sang raja siang ke istananya.
            Dua mata lain memperhatikannya dari sebalik tirai. Entah kali keberapa peristiwa seperti ini terlihat oleh dua mata pemerhati ini. Akhirnya untuk kali ini dia mencoba menegur. Melangkahkan kakinya, menghampiri.
            “Nak…” ucapnya serak, yang dipanggil nampak terkejut sembari menyembunyikan kertas yang dipegangnya.
            “Eh…, Omak! Bikin kaget aja!”
            Omak olah[4] memperhatikan selama ini, kamu benar-benar ingin kuliah, Asti?” Tanya  wanita yang dipanggil Omak, menepuk pundak anaknya. Mendengar ucapan Omaknya itu, Asti menunduk dan mengangguk.
            “Asti memang benar-benar ingin kuliah agar bisa ke luar negeri, Omak!” Ujar Asti.
            Omak bangga padamu. Percayalah… kamu pasti bisa kuliah. Omak akan mengumpulkan uang.”
            “Tinggal tiga hari lagi ujian masuk perguruan tinggi diadakan. Apakah selama itu akan terkumpul uang yang cukup untuk biaya masuk kuliah Asti, Omak?” Asti nampak ragu. Omak tersenyum.
            Yang penting kamu ikut ujian saja dulu, masih banyak waktu sebelum pengumuman kelulusan bukan?
            Asti mengangguk. Dia menatap Omaknya, ketegaran nampak jelas dalam garis-garis wajahnya. Omaknya memang tak pernah mengatakan tak ada biaya untuk kuliahnya. Namun, Asti menyadari keadaan ekonomi yang diderita keluarganya.  Hal inilah yang membuatnya menyembunyikan hasrat untuk kuliah pada Omak. Ternyata lagi-lagi yang disembunyikannya terbaca oleh Omak. Benarlah adanya,  naluri seorang Ibu tak akan bisa dibohongi.  Di sisi lain, sebenarnya Asti masih bertanya-tanya, apakah benar dia bisa mengenyam bangku kuliah? Belum lagi ditambah beban biaya ketiga adiknya. Sanggupkah Omak? Bathinnya.
***
            Asti telah mengikuti ujian masuk perguruan tinggi.  Hari-hari berlalu, dia tidak pernah merasa cemas sama sekali memikirkan hasil ujiannya sebab dia merasa mampu menakhlukan soal-soal tersebut namun ada hal lain yang membuat jiwa Asti semakin tak menentu, rasa percaya sedikit demi sedikit luntur menyisakan warna pudar. Dia meragukan Omak.
             Seusai shalat subuh tadi seperti biasa Omak sudah dijemput Ante Eti, teman kerjanya.  Asti melangkah, melihat lauk di atas meja. Hanya ikan asin teri, tak ada bedanya dengan hari-hari lalu. Aan, Endi, dan Sita makan begitu lahap. Asti tertegun menatap mereka. Dia mengernyit menatap baju ketiganya yang lusuh. Terbesit dalam hatinya, bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin Omak bisa mengumpulkan uang untuk biaya kuliahnya? Buktinya saja tak ada yang berubah di hari-harinya. Lauk yang sama, baju lusuh dan juga pekerjaan Omak yang tidak bergaji besar. Atau jangan-jangan Omak hanya menghiburnya dengan mengatakan bahwa dirinya bisa kuliah. Helaan nafasnya berat bahkan bertambah berat. Dia mendudukkan dirinya di atas kursi, menatap langit-langit yang berjeraring laba-laba, menahan pedih.
***
          “Asti ngambil jurusan apa?” Tanya Omak sambil menjahit baju seragam Aan yang sobek tersangkut tunggul di jalan. Asti membisu, hanya menatap alam sore di depan pintu.
            “Kalau menurut Omak, lebih baik kamu ngambil bidang kesehatan. Kamu kan pintar Biologi.” Omak berujar lagi. Asti tetap membisu hening seolah tak mau merespon apa pun.
            “Sebentar lagi kamu kuliah. Omak bakalan bangga padamu, kelak kamu akan memakai topi toga dan menyandang gelar sarjana…” ucap Omak dengan senyum yang terlahir begitu saja disertai tawa kecil-kecilnya.  Kali ini raut wajah Asti berubah, hentakkan dalam jiwanya meluap. Bibirnya bergetar, kesal.
            “Cukup Omak!” ucapnya.
            Omak tak usah menghibur Asti. Kenapa sih Omak tidak langsung bilang saja kalau tidak ada biaya untuk kuliah Asti? Asti akan maklum kalau Omak mengatakan itu. Bukan seperti ini, Omak menanyakan Asti mengambil jurusan apa tapi biaya untuk mendalami jurusan kuliah saja nihil.” mendengar perkataan anaknya yang bernada sinis dan tak pernah sama sekali dia kira, Omak nampak tersentak. Jarum melukai jarinya, dia tersenyum pahit.
            Omak  hanya percaya rezeki  itu tak akan kemana. Seandainya Allah memberikanmu rezeki untuk kuliah, kamu pasti bisa kuliah Asti…”
            “Percaya? Pasti bisa? Kata-kata itu mengganggu Asti, Omak! Awalnya Asti hendak percaya, tapi lihat saja Omak! Tak ada yang berubah di sini. Makanan tetap ikan asin teri setiap hari, baju seragam sekolah Aan, Endi dan Sita masih lusuh, dan Omak juga…, masih seorang penyapu jalan. Bagaimana mungkin Omak bisa membiayai kuliah Asti? Ku mohon Omak, jangan membuat Asti menjadi seorang pemimpi!” ucapan itu mengalir begitu saja dari benak Asti.
Dia melangkah keluar, menjauhi Omak. Semua itu hanya mimpi Omak! Hanya mimpi! Asti menangis putus asa, ah..., Omak! Mengapa tak mengatakan yang pasti-pasti saja?
***
            “Aku lulus?” Asti menatap pengumuman kelulusan dengan perasaan bercampur aduk. Apakah dia mesti bahagia atau menyesal? Lulus atau tidak sama saja hal itu menyakitkan. Omak sampai saat ini tak memberi kabar tentang ada tidaknya biaya untuk kuliah. Ah, sudah pasti tidak ada! Dia merasa sangat iri saat melihat temannya yang lain berteriak-teriak girang mengetahui dirinya lulus. Hanya dirinya..., yang lulus tetapi merasa sedih. Asti tersenyum perih, melangkah meninggalkan Warnet tempat dia melihat kelulusan.
            Asti berjalan menuju rumahnya tanpa semangat. Nyaris saja dia membuka pintu rumah, dia mendengar Omak berteriak-teriak memanggilnya.
            “Asti...! Asti...! Kamu bisa kuliah! Kamu bisa kuliah!”
            Mendengar itu Aan, Endi dan Sita muncul dari pintu yang tadinya akan dibuka Asti.
            “Beneran Omak? Uni bisa kuliah?” tanya Aan meminta keyakinan.
            “Alhamdulillah…, hari ini Omak dapat rezeki.” Ucap Omak sambil memperlihatkan lembaran kertas yang membuat Asti dan ketiga adiknya ternganga.
            “Dari mana Omak dapat uang sebanyak itu?” Asti heran bercampur takjub.
            “Tadi ada orang dermawan yang memberikannya pada Omak. Nah, sekarang kamu bisa kuliah Asti. Benar kan Omak bilang, rezeki itu tak akan kemana.” Ujar Omak, Omak tersenyum. Asti menggeleng tak percaya.
            “Bagaimana bisa orang itu memberikan uang sebanyak ini pada Omak?
            Omak kan sudah bilang Asti, percayalah…, Allah memberikan rezeki untuk kuliahmu. Jika ada peluang untuk ke luar negeri jangan pernah kamu abaikan, Omak yakin kamu pasti menjadi orang pilihan.
            Mendengarnya, Asti membiru haru. Air matanya tumpah bahagia.
            “Maafkan Asti Omak…, maafkan Asti Omak…”  Asti memeluk Omak erat, perasaan berdosa merasuk hatinya. Dia berjanji tak akan mengulangi kesalahannya dan menyakiti Omak lagi. Omak tersenyum meski lemah, ada sesuatu yang dirasakan lain oleh tubuhnya. Dia merintih kecil, sangat kecil…!
***
            Kuliah bukan mimpi, rezeki tak akan kemana. Kata-kata itulah yang memotivasi hari-hari Asti. Kata-kata Omaknya yang akhirnya dia akui keajaibannya. Sudah lebih dari dua tahun Asti menuntut ilmu di kota. Meninggalkan Omak dan ketiga adiknya di kampung. Wajah mereka selalu menyelinap dalam sulaman-sulaman mimpi yang dia rajut. Terutama wajah Omak, betapa tidak? Omaklah yang memberikan biaya pertama masuk kuliahnya yang bersumber dari orang kaya dermawan. Beruntung, Asti memiliki IQ brilian hingga dia memperoleh banyak beasiswa.
            Beberapa hari lagi dia hendak mengikuti pertukaran pemuda ke luar negeri. Banyak temannya yang yakin akan lolosnya Asti dalam seleksi ini. Namun, terbesit di benaknya, dia butuh do’a Omak. Asti merogoh tasnya, menelepon Omak. Lama tak ada jawaban, Asti resah.
            “Tutt..., tutt…” hand phonenya berbunyi. Ada pesan dari nomor Omak, serta merta dibacanya,
            “Uni, lai brito buruak[5]. Omak td pingsan d jln wkt nyapu. Krg omak d rmh skit. Kta dkter omak hrs cuci drah. Uni copeklah pulang kmpuang[6].
           Jutaan voltase listrik seakan menyambarnya. Asti cemas tak menentu. Omak pingsan dan harus cuci darah? Separah itukah? Sepertinya Asti harus memutuskan untuk pulang ke kampungnya namun dengan harapan tetap bisa mengikuti seleksi. Semoga sakitnya Omak tidak separah yang dia pikirkan.
***
            Omak akan jauh lebih setuju jika aku mengejar mimpiku untuk pergi ke luar negeri daripada menungguinya.” Ujar Asti. Ante Eti menggeleng dan tersenyum kecut.
            “Memangnya kamu menilai semuanya sesederhana itu? Apakah kamu tahu penyakit Omakmu? Dia gagal ginjal!”
            “Aku tahu itu Ante!” timpal Asti.
            “Tapi sayangnya Omakmu hanya memiliki satu ginjal, tak akan ada harapan lagi!” ucap Ante Eti membuat Asti tersentak.
            “Bagaimana mungkin?” Asti tak mengerti. Ante Eti menatap langit untuk menurunkan kembali bulir-bulir air yang hendak tumpah.
            “Bagaimana mungkin? Kamu memang tak pernah tahu, padahal kamulah yang memakannya.”
            “Maksud Ante?” Asti semakin tak mengerti.
            “Waktu itu Omakmu nekat menjual salah satu ginjalnya kepada orang kaya raya. Semua itu demi kamu, agar kamu bisa melanjutkan studimu. Aku telah mencegahnya namun dia bilang harus ada yang dikorbankan dan itu adalah dirinya sendiri, demi kamu...”
            Tubuh Asti bergetar. Dia seolah tak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. Berkas-berkas yang digenggamnya terjatuh. Sebagian ada yang terbawa angin, menyisir rerumputan. Tak pernah terlintas peristiwa semacam ini akan terjadi. Baginya kini Omak lebih berharga daripada ambisinya. Omak biarlah kali ini aku yang berkorban meski tak sebanding pengorbananmu, ucap hatinya.
Asti berbalik hendak kembali ke kamar perawatan Omak namun tenggorokkannya tercekat ketika dia melihat dua orang perawat mendorong tubuh yang tertutup kain putih tampaklah ketiga adiknya mengiringi terisak dan memanggil-manggil,
Omak..., Omak... !”
Pekanbaru, Selasa, 26 Maret 2013


[1] Ibu
[2] Kakak
[3] Bibi
[4] Sudah
[5] Kak, ada berita buruk.
[6] Kakak cepatlah pulang kampung.


 Cerpen ini adalah karya shohib ana, dengan cerpen ini ia berhasil meraih juara 2 dalam lomba menulis cerpen yang ditaja oleh Balai Bahasa Provinsi Riau
                                                                Semoga Bermanfaat

ini lah dia... si neng geulis..... :) Inna Nurhasanah


Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Tulisan Kaca Marlinara

Powered By: Blogger| Edited By Coretan Binder Hijau