Posted by : tulisan kaca marlinara Kamis, 21 November 2013





PENDAHULUAN

Hadis atau sunnah adalah sumber ajaran islam yang kedua setelah Al-qur’an. Diamana keduanya mrupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia. Untuk Al-Qur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatnnya bersa dari Nabi atau tidak.

Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan setiap ayat-ayat Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupunMutasabihat. Sehingga hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam menguasai inti-inti ajaran Islam.

Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam periwatannya yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima); Shahih dan hasan. Namun disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya upaya penelitian kritik Sanad maupun Matan oleh para ulama untuk yang memiliki komitmen tinggi terhadap sunnah.

Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima maupun meriwayatkan hadis Rasulullah.  Berbagai macam hadis yang menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis atas kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas sebuah hadis.

Dari uraian diatas maka perlu mengetahui dan menindaklanjuti metode-metode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam menentukan kualitas sebuah hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadis sahih,dan mana hadis dhaif serta dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.

 

PEMBAHASAN
HADIS SHAHIH DAN HADIS DHA’IF

1.      HADIS SHAHIH

A.    Pengertian Hadis Shahih

Kata shahih secara bahasa berarti sehat, selamat, benar, sah dan sempurna. para ulama biasa menyebut kata shahih ini sebagai lawan kata saqam (sakit). Maka, hadis shahih secara bahsa adalah hadis yang sehat, selamat, benar, sah, sempurna, dan tidak sakit. Secara terminalogis hadis shahih adalah  hadis yang sanadnya bersambung,diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dhabit hingga bersambung kepada Rasulullah atau pada sanad terakhir berasal dari kalangan sahabat tanpa mengandung syadz (kejanggalan) ataupun ‘illat (cacat).[1]

Ibn Hajar Al-‘Asqalani dalam Nuzhah al-Nazhar Syarh Nukhbah al-Fikar lebih ringkas mendefinisikan hadis shahih, yaitu:

خبرُ الاحاد بنقل عدلٍ تام الضبطِ، متصلَ السند غيرَ معلَّلٍ ولا شاذٍّ

“ hadis yang diriwayatkan oleh orang yang ‘adil, sempurna ke dhabitannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat dan tidak ber-syadz”.[2]

Jamaluddin al-Qasimi juga mendefinisikan dalam kitabnya Qawa’id al-Tahdts min Funun Musthalah al-Hadits, hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Ibn Hajar, yaitu:

مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ عَنْ مِثْلِهِ وَ سَلِمِ عِنْ شُذُوْذٍ وَ عِلَةٍ

“hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan dan diterima dari periwayat yang ‘adil dan dhabit, serta selamat dari kejanggalan dan “illat”.[3]

                        Demikian pula definisi yang dikemukakan oleh Imam ai-Nawawi juga hampir sama dengan definisi di atas, yaitu:

مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ عَنْ مِثْلِهِ إِلَى مُنْتَهَاهُ مِنْ شُذُوْذٍ وَ لاَ عِلَةٍ

“hadis yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh orang-orang yang ‘adil dan dhabit, terhindar dari syuduz dan ‘illat”.[4]

B.     Kriteria Hadis Shaheh

Dari beberapa macam definisi yang diutarakan oleh muhaddisin tentang hadis shoheh di atas, dengan kalimat yang berbeda, namun tidak menunjukkan adanya perbedaan dalam pemahaman ciri hadis shaheh tersebut. Dengan kata lain, bahwasannya sebuah hadis itu dikatakan shaheh jika hadis tersebut memiliki kriteria-kriteria sebagai berikut:

1.                  Bersambung sanadnya ( Ittishal al-Sanad)

Yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayatan terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad hadis itu.[5] Persambungan sanad itu terjadi semenjak mukharrij hadits (penghimpun riwayat hadis dalam kitabnya) sampai pada periwayatan pertama dari kalangan sahabat yang menerima hadis yang bersangkutan dari Nabi. Dengan kata lain, sanad hadis tersambung sejak sanad pertama samapai dengan sanad terakhir (kalangan sahabat) hingga Nabi Muhammad, atau persambungan itu terjadi mulai dari Nabi pada periwayatan pertama (kalangan sahabat) sampai periwayatan terakhir (mukharrij hadits).[6]

Untuk mengetahuibersambung atau tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadis menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:

·           Mencatat semua nama rawi dalam sanad yang teliti.

·           Memepelajari sejarah hidup masing-masing rawi.

·           Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para rawi dan rawi yang terdekat dengan sanad.[7] Kata-kata atau metode yang dipaki dalam sanad berupa: haddatsani, haddatsana, akhbarani, akhbarana, sami’tu, ‘an, anna, dan sebagainya.[8]

Jadi, suatu sanad hadis dapat dinyatakan bersambung apabila:

·           Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit).

·           Antara masing-masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam     sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah menurut ketentuan tahamul wa ada al-hadis.[9]

Melalui beberapa langkah di atas dapat diketahui apakah sanad suatu hadis dinyatakan bersambung atau tidak. Ketersambungan sanad itu diketahui apakah para periwayat yang dipastikan benar-benar meriwayatkan hadis dari periwayat terdekat sebelumnya yang diketahui melalui usia mereka, terjadinya hubungan guru dan murid, atau melalui metode periwayatan yang mereka gunakan.

2.                  Periwayat  bersifat adil.

Menurut Ar-Razi, keadilan adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak takwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil, meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang menodai maru’ah, seperti makan sambil berdiri di jalan, buang air (kencing) yang bukan disediakan untuknya, dan bergurau yang berlebihan.[10]

Ulama berbeda pendapat tentang kriteria periwayatan hadis tentang ‘adil.  Al-Hakim berpendapat bahwa seseorang disebut ‘adil apabila beragama islam, tidak berbuat bid’ah dan tidak berbuat maksiat. Ibnu al-Shalah menetapkan lima kriteria seorang perawi disebut ‘adil, yaitu beragama islam, baligh, berakal, memelihara maru’ah dan tidak berbuat fasik. Pendapat serupa dikemukakan oleh al-Nawawi. Sementara itu, Ibn Hajar al-‘Asqalani menyatakan bahwa sifat’adil yang dimiliki seorang periwayat hadis yaitu takwa,memelihara maru’ah, tidak berbuat dosa besar misalnya syirik, tidak berbuat bid’ah, dan tidak berbuat fasik. [11]

Berdasarkan pernyataan para ulam di atas diketahui berbagai kriteria periwayat hadis dinyatakan ‘adil, secara akumulatif, kriteria-kriteria itu adalah:

1.        Beragama islam

2.        Baligh

3.        Berakal

4.        Takwa

5.        Memelihara maru’ah

6.        Teguh dalam beragama

7.        Tidak berbuata dosa besar

8.        Tidak berbuat maksiat

9.        Tidak berbuat bid’ah

10.    Tidak berbuat fasik

 

Syuhudi Isma’il kemudian menyimpulkannya menjadi empat kriteria yaitu:

1.      Beragama islam

2.      Mukallaf

3.      Melaksanakan ketentuan agama

4.      Memelihara muru’ah

Untuk mengetahui ‘adil tidaknya periwayat hadis, para ulama hadis telah menetapkan beberapa cara yaitu:

a.       Melalui popularitas keutamaan periwayat di kalangan ulama hadis. Periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya atau tidak diragukan lagi ke ‘adilannya misalnya Malik ibn Anas dan Sufyan al-Tsawri.

b.      Penilaian dari para kritikus periwayat hadis. Penilaian ini berisi pengungkapan kelebihan (al-ta’dil) dan kekurangan (al-tajrih) yang ada pada periwayat hadis.

c.       Penerapan kaidah al-jarh wa ta’dil. Cara ini ditempuh apabila para kritikus periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.[12]

3.                  Periwayat Hadis Bersifat Dhabit

Secara bahasa dhabith berarti yang kokoh, kuat, yang hafal dengan sempurna. kekuatan hafalan ini sama pentingnya dengan keadilan. Kalau keadilan berkenaan dengan kapasitas pribadi, maka ke-dhabitan-an terkait dengan kualitas intelektual. Sifat ‘adil dan sifat dhabith berhubungan sangat erat. Seseorang yang ‘adil dengan kualitas pribadinya bagus, misalnya jujur, amanah (dapat dipercaya), dan objektif tidak dapat diterima informasinya apabila tidak mampu memelihara (hafalan terhadap) terhadap infoermasi itu. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang mampu memelihara hafalan dan faham terhadap informasi yang diketahuinya tetepi kalau ia tidak jujur, pendusta, dan penipu, maka informasi yang disampaikannya tidak dapat dipercaya. Karena itu, oleh para ulama hadis keadilan dan ke-dhabith-an periwayat hadis kemudian dijadikan satu dengan istilah tsiqah. Jadi, periwayat yang tsiqah adalah periwayat yang ‘adil dan dhabit.[13]

Bila seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak menerima hingga menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan di mana saja dikehendaki, orang itu dinamakan dhabit shadri. Kemudian, kalau apa yang disampaikan itu berdasar pada buku catatannya (teks book) ia disebut dhabitu kitab.[14]

Periwayat yang dhabith dapat diketahui melalui beberapa cara. Cara untuk mengetahui ke-dhabit-an periwayat hadis menurut berbagai pendapat ulam adalah:

·           Ke-dhabith-an periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama.

·           Ke-dhabith-an periwayat dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain telah dikenal ke-dhabith-annya, baik kesesuaian itu sampai tingkat makna maupun sampai tingkat harfiah.

·           Periwayat yang sekali-kali mengalami kekeliruan, tetap dinyatakan dhabith asalkan kesalahan itu sering terjadi. Jika ia sering mengalami kekeliruan dalam riwayat hadis, maka tidak disebut dhabith.[15]

Periwayat yang kurang dhabith adalah periwayat yang hafal hadis yang diriwayatkan tetapi sesekali mengalami kekeliruan dalam menyampaikan hadis itu kepada orang lain. Hadis yang disampaikan periwayat yang kurang dhabith dapat dikelompokkan pada hadis hasan. Periwayat disebut tidak dhabith apabila tidak hafal terhadap hadis yang diriwayatkan atau banyak mengalami kekeliruan dalam meriwayatkan hadis dan hadis yang diriwayatkannya dinyatakan sebagai hadis dha’if.

4.                  Tidak syadz (janggal)

Secara bahasa, syadz merupakan isim fa’il dari syadzadza yang berarti menyendiri (infarada). Menurut istilah ulama, hadis syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah tetapi bertentanagan dengan riwayat lain yang lebih tsiqah, atau bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi yang bersifat siqat.[16] Kondisi ini dianggap rancu atau janggal karena bila ia berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya hapalannya atau jumlah mereka lebih banyak, maka perawi yang lain itu harus diunggulkan, maka disebut syadzdz atau janggal. Dan karena kerancuannya maka timbullah penilaian negatif terhadap periwayataan hadis yang bersangkutan.[17]


5.             Tidak ber’illat

‘illat secara bahasa berarti cacat, kesalahan baca, penyakit dan keburukan. Menurut istilah ilmu hadis, ilat adalah sebab yang tersembunyi yang dapat merusak keshahehan hadis.[18]

Menurut al-Khatib al-Baghdadi, cara untuk mengetahui ‘illat hadis adalah dengan menghimpun seluruh sanadnya, melihat perbedaan diantara para periwayatnya, dan memperhatikan status hafalan, keteguhan, dan ke-dhabith-an masing-masing periwayat. Al-Hakim al-Naysaburi berpendapat, acuan utama penelitian ‘illat hadis adalah hafalan, pemahaman, dan pengetahuan yang luas tentang hadis.

Kelima syarat diatas merupakan tolak ukur untuk menetukan suata hadis itu Shahih atau tidak. Apabila kelima syarat tersebut dapat terpenuhi secara sempurna, maka hadis tersebut dinamakan dengan hadis Shaheh, bahwa faktor keadilan dan ke-dhabith-an rawi dapat menjamin keaslian hadis yang diriwayatkan seperti keadaanya ketika hadis itu diterima dari orang yang mengucapkannya. Bersambung sanad dengan para rawinya yang kondisinya demikian akan dapat menghindarkan tercemarnya hadis yang yang bersangkutan dalam perjalanannya dari Rasulillah saw sampai rawi terakhir. Tidak adanya kejanggalan dalam matan atau sanad itu merupakan bukti keaslian dan ketepatan hadis yang bersangkutan serta menunjukkan bahwa padanya tidak terdapat hal-hal yang mencurigakan. Tidak adanya cacat menunjukkan keselamatan hadis yang bersangkutan dari hal-hal samar membuatnya cacat setelah dihadapkan kepada syarat-syarat keshahehan lainnya yang berfungsi untuk meneliti factor-faktor kecacatan lahiriah. Dengan demikian jelaslah bahwa hadis yang shaheh itu karena telah terpenuhinya faktor keshahehan riwayat dan terbebasnya hadis tersebut dari hal-hal yang bias membuatnya cacat, baik samar maupun cacat.[19]

C.    Macam-macam Hadis Shahih

Para ulama membagi hadis shahih menjadi dua macam, yaitu:

a.      Hadis Shahih li Dzatihi

 hadis shahih li dzatihi dan hadis shahih li ghairihi. Hadis shahih li dzatihi adalah hadis yang memenuhi kriteria-kriteria hadis shahih yang lima sebagaimana dijelaskan sebelumnya, yaitu hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan sifat dhabith, serta terlepas dari syadz dan ‘illat. Hadis shahih katagori ini dihimpun oleh para mudawwin hadis seperti al-Bukhari, dalam kitabnya shahih al-Bukhari, Muslim ibn al-Hajjaj dalam Shahih Muslim, Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud, Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad Ahmad dan lain sebagainya.[20]

b.    Hadis Shahih li Ghairihi

Hadis shahih li ghairihi adalah hadis yang keshahihannya dibantu oleh adanya hadis lain. Pada mulanya hadis katagori ini memiliki kelemahan berupa periwayatan yang kurang dhabith, sehingga dinilai tidak memenuhi syarat untuk dikatagorikan sebagai hadis shahih. Tetapi, setelah diketahui ada hadis lain dengan kandungan matan yang sama dan berkualitas shahih, maka hadis tersebut naik derajatnya menjadi shahih. Dengan kata lain, hadis shahih li ghairihi pada asalnya adalah hadis hasan yang karena ada hadis shahih dengan matan yang sama, maka hadis hasan naik menjadi hadis shahih[21]

2.      HADIS DHA’IF

A.    Pengertian Hadis Dha’if

Kata dha’if menurut bahasa berarti ‘lemah’, sebagai lawan dari qawi (yang kuat). Sebagai lawan kata shahih, kata dha’if juga berarti saqim (orang yang sakit). Maka sebutan hadis dha’if secara bahasa berarti hadis yang lemah, yang sakit, dan yang tidak kuat.[22]

Adapun secara terminalogis menurut muhadditsin adalah:

هُوَ كُلُّ حَدِيْثٍ لَمْ تَجْمَعْ فِيْهِ صِفَاتُ الْقَبُوْلِ. وَقَالَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ هُوَمَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَةَ الصَّحِيْحِ وَ الْحَسَنِ.

“Hadis dha’if adalah semua hadis yang tidak terkumpul padanya sifat-sifat bagi hadis yang diterima dan menurut paendapat kebannyakan ulama: hadis dha’if adalah hadis yang tidak terkumpul padanya sifat hadis shahih dan hasan”.[23]

                        Pada definisi tersebut terlihat bahwa, kriteria-kriteria hadis dha’if adalah tidak memenuhi salah satu dari kriteria hadis shahih dan hadis hasan. Sehingga hadis dha’if biasa terjadi karena tidak terpenuhinnya salah satu atau beberapa unsur tersebut, yaitu: sanadnya terputus, periwayatnya tidak adil, periwayatnya tidak dhabit, mengandung syadz dan mengandung ‘illat.

B.     Macam-macam Hadis Dhaif

1.    Hadis Dha’if Karena Sanadnya terputus

Terputusnya atau gugurnya suatu sanad, mungkin berada di awal sanad, mungkin  di pertengahan, mungkin di akhirnya dan mungkin seluruhnya, serta masih banyak lagi kemungkinan letak terputusnya. Dalam kaitan denagan keterputusan sanad terbagi menjadi terbagi menjadi beberapa bagian , yaitu:

a.       Hadis mu’allaq

Hadis mu’allaq adalah hadis yang terputus di awal sanad. Kata mu’allaq secara bahsa berarti tergantung.[24] Secara terminalogis, hadis mu’allaq adalah hadis yang periwayatnya di awal sanad (periwayat yang disandari oleh penghimpun hadis) gugur atau terputus seseorang atau lebih secara berurut. Patokan tentang keterputusannya terletak pada awal sanad baik seorang periwayat atau lebih. Jika lebih, maka keterputusan itu harus secara berurutan. Ini berarti, seandainya yang terputus bukan di awal sanad atau beberapa periwayat yang gugur tidak secara berurutan, maka hadis itu tidak dinamakan mu’allaq.[25]

            Hadis mu’allaq disebut hadis dha’if karena rangkaian sanadnya hilang atau terputus, sehingga tidak diketahui identitas dan kualitas para periwayat yang sesungguhnya.

b.      Hadis Munqhati’

Kata munqathi’ berasal dari bentuk kata kerja inqatha’a yang berarti berhenti, kering, kering, patah, pecah atau terputus. Secara istilah hadis mungqathi’ adalah hadis yang di tengah sanadnya ada periwayatanya yang gugur seseorang atau dua orang tidak secara berurutan.

Keterputusan pada hadis munqathi’, menurut para ulama hadis, dapat terjadi pada thabaqat (generasi) kedua, ketiga, atau keempat, satu orang atau lebih tetapi tidak berturut-turut. Jika terputus pada generasi pertama, hadisnya disebut mursal dan jika berturut-turut pada generasi kedua, ketiga atau keempat, maka hadisnya dinamakan mu’dhal.

 
c.       Hadis Mursal

 Mursal, menurut bahasa, merupakan isim maf’ul, yang berarti “yang dilepaskan”.[26] Secara terminalogis, mayoritas ulama hadis mendefinisikan  hadis mursal adalah hadis yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh seorang tabi’in, tanpa terlebih dahulu disandarkan kepada sahabat Nabi.[27]

d.      Hadis Mu’dhal

Hadis mu’dhal adalah hadis yang gugur dua orang sanadnya atau lebih secara berurutan. Hadis mu’dhal merupakan hadis dha’if yang terendah nilainya dibandingkan dengan hadis mursal dan munqathi’ karena banyaknya hilang perawi dari sanadnya. Karena itu hukum hadis mu’dhal tidak dapat dijadikan hujjah dan dipandang mardud.

e.       Hadis Mauquf dan Hadis Maqthu’

Hadis mauquf adalah hadis yang disandarkan kepada sahabat nabi atau hadis yang diriwayatkan dari para sahabat berupa perkataan, perbuatan atu persetujuan. Dilihat dari arti bahasa, kata mauquf berasal dari kata waqafa-yaqifu yang berarti dihentikan atau diwakafkan. Hadis jenis ini dihentikan penyandarannya kepada sahabat dan tidak sampai pada Nabi.[28]

Hadis maqthu’ berasal dari kata qatha’a (memotong) lawan kata wasahala (menghubungkan). Secara istilah berarti hadis yang disandarkan kepada seorang tabi’in atau sesudahnya baik perkataan maupun perbuatan, atau hadis yang diriwayatkan dari tabi’in berupa  perkataan, perbuatan, atau ketetapan. Dengan kata lain, hadis maqthu’ adalah perkataan, perbuatan, atau ketetapan tabi’in atau orang sesudah mereka.

Disebut maqthu’ karena hadis itu terpotong, yaitu sandarannya dipotong hanya sampai pada tabi’in. menurut al-Sakhwi, sesuatu hadis disebut maqthu’ karena tidak ditemukan adanya qarinah yang menunjukkan bahwa hadis itu disandarkan kepada Nabi saw.[29]

2.    Hadis Dha’if karena Periwayatnya Tidak ‘Adil

a.         Hadis Mau’dhu’

Hadis Maudhu’ adalah hadis dusta yang dibuat-buat dan dinisbahkan kepada Rasulullah saw. Sebagaian ulama menilai hadis ini sebagai hadis dha’if yang paling buruk, dan ulama lain tidak memasukkannya sebagai bagian hadis dhaif, tetapi berdiri sendiri.  Ulama bersepakat bahwa dilarang mengamalkan dan meriwayatkan hadis palsu kecualai disertasi penjelasan tentang kepalsuannya.

Kriteria hadis maudhu’ cukup banyak berbeda dengan kriteria hadis lain yang relative lebih sedikit dan dikalangan ulama tidak ditentukan secara terperinci. Setelah dilakukan pengkajian secara garis besar kriteria hadis palsu dapat dipaparkan sebagai berikut:[30]

Kriteria sanad:

1.      Pengankuan periwayat (pemalsu hadis)

2.      Bertentangan dengan realita historis periwayat

3.      Periwayat pendusta

4.      Keadaan periwayat dan dorongan psikologisnya.

Kriteria matan:

1.      Buruk lafal (redaksi)nya.

2.      Rusak maknannya, disebabkan oleh, pertama: bertentangan dengan dalil-dalil syar’I dan kaidah-kaidah dan hukum. Kedua: bertentangan dengan realita, ketiga: bertentangan dengan akal pikiran dan yang kekempat: adanya bukti yang sah tentang pemalsuannya.

b.         Hadis Matruk

Hadis matruk adalah dalah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh berdusta dalam meriwayatkan hadis, atau orang yang suka berdusta dalam berbicara, atau orang yang jelek selahannya, banyak kelengahannya dan tampak kefasikannya[31]

c.         Hadis Munkar

Hadis munkar adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang dha’if, kemudian hadis itu riwayat dan isinya bertentangan dari yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah.

Apabila hadis yang diriwayatkan oleh orang yang dha’if itu tidak menyalahi dengan yang dibandingkan dengan hadis-hadis dha’if lainnya, maka hadis matruk merupakan hadis dha’if yang paling rendah.

3.    Hadis Dha’if Karena Periwayatnnya Tidak Dhabith

a.         Hadis Mudallas

Mudallas berasal dari kata dallasa yang secara bahasa berarti menipu atau menyembunyikan yang cacat, mudallas berarti yang terdapat di dalamnya tipuan atau cacat. Menurut istilah, hadis mudallas adalah hadis yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadis itu tidak cacat. Periwayat yang menyembunyikan cacat disebut al-mudallis, hadisnya disebut al-mudallas, dan perbuatan menyembunyikan disebut at-tadlis. Secara umum, tadlis ada dua macam yaitu:

1.              Tadlis isnad adalah, periwayat hadis menyatakan telah meneriama hadis dari periwayat tertentu yang sezaman dengannay padahal mereka tidak pernah bertemu atau mungkin saja  mereka pernah bertemu tetapi antara mereka tidak pernah atau pernah diragukan pernah terjadi kegiatan penyampaian periwayatan hadis

2.              Tadlis al-syuyukh adalah, periwayat hadis menyebut secara salah identitas guruyang menyampaikan hadis kepadanya. Kesalahan penyebutan itu mungkin berkenaan dengan nama, gelar family, julukan, sifat, atau nama negri guru tersebut. Kesalahan penyebutan identitas mungkin dilakukan secara sengaja dengan maksud agar riwayatnya tampak berkualitas lebih kuat sebab guru yang lemah itu tidak diketahui identitas dan kelemahannya.[32]

b.         Hadis Mudraj

Hadis mudraj bersal dari adraja yang berarti menyisipkan. Menurut istilah ilmu hadis, mudraj adalah hadis yang bentuk sanadnya diubah atau kedalam matannya dimasukkan sesuatu kata atau kalimat yang sebetulnya bukan bagian  dari hadis tersebut tanpa ada tanda pemisah.

c.         Hadis maqlub

     Hadis maqlub adalah hadis yang diriwayatkan dengan cara mengganti kata dengan kata lain baik pada sanad maupun matannya.  Kata maqlub bersal dari kita al-qalb yang berarti mengubah sesuatu dari keberadaannya. Jadi, hadis maqlub adalah hadis yang didalamnya periwayat menukar suatu kata atau kalimat dengan kata atau kalimat lain.

d.        Hadis Mazid

Jika sebuah hadis mendapat tambahan kata atau kalimat yang bukan berasal dari hadis itu baik dari pada sanad maupun matan, maka hadis itu disebut mazid. Kata mazid sendiri merupakan isim maf’ul dari kata al-ziyadah (tambahan). Tambahan dapat terjadi pada sanad atau matan. Tambahan pada sanad dilakukan dengan menambahkan nama periwayat.

e.         Hadis Mudhtharib

Kata al-mudhtharib berasal dari kata al-idhtharab yang berarti kekacauan sesuatu dan kerusakan aturannya. Menurut istilah, mudhtharib adalah hadis yang diriwayatkan dengan cara yang berbeda-beda, tetapi sama dalam kekuatannya. Maksudnya, hadis yang diriwayatkan dengan bentuk yang bertentangan dan berbeda serta tidak mungkin dilakukan kompromi. Seluruh riwayat hadis itu sama kekuatannya dari segala sisi sehingga tidak mungkin dilakukan tajrih antara kedua bentuk hadis itu.

f.          Hadis Mushahhaf

Kata mushahhaf berasal dari bahasa arab al-tashhif yang berarti salah dalam membaca lembaran. Kata al-shahhafi berarti orang yang salah dalam membaca lembaran dengan mengubah sebagian redaksinya karena salah dalam membaca.

g.         Hadis Majhul

Kata majhul yang disebut al-jahalah bi al-rawi, berasal dari kata jahila lawan kata ‘alima yang berarti bodoh, tidak mengetahui. Menurut istilah, majhul adalah hadis yang tidak diketahui jati diri periwayat atau keadaannya. Dalam hal ini periwayat tidak diketahui jati diri dan kepribadiannya atau kepribadiannya diketahui tetapi tidak diketahui keadilan atau kedhabithannya.[33]

4.    Hadis Dha’if karena Mengandung Syadz

Secara bahasa, syadz merupakan isim fa’il dari syadzadza yang berarti menyendiri (infarada) dan yang dimaksud adalah al-munfaridu ‘anil jumhur (sesuatu yang menyendiri terpisah dari mayoritas).

Menurut istilah, syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan tetapi bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih utama.[34]

 

5.    Hadis Dha’if karena Mengandung ‘Illat (Cacat)

Jika dalam sebuah hadis terdapat cacat tersembunyi dan secara lahiriah tampak shahih, maka hadis itu dinamakn hadis mu’allal, yaitu hadis yang mengandung illat. Secara bahasa, kata ‘illat berarti cacat, penyakin dan keburukan. Menurut istilah ahli hadis berarti sebab yang tersembunyi yang dapat meruak keshahehan hadis.

Suatu ‘illat dapat terjadi pada sanad, pada matan, atau pada sanad dan matan sekaligus. Akan tetapi yang terbanyak ‘illat terjadi pada asanad. Masing-masing hadis, baik ‘illatnya terjadi pada sanad, matan, maupun pada keduanya sekaligus disebut dengan hadis mu’allal.[35]

 

 



[1] Zarkasih, Studi Hadis,(Yogyakarta:Aswaja Pressindo,2011.)hlm. 61-62.
[2] Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-asqalan, Nuzhah al-Nazhar Syarh Nukhbah al-Fikar,(semarang: Maktabah al-Munawarah,tth.)hlm.51.
[3] Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdits min Funun Musthalah al-Hadits,(Beirut: Dar al-Kutubal-‘Ilmiyah,1979),hlm.79.
[4] Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis,(Pekanbaru:Perpustakaan Nasional,2006.),hlm.82.
[5] Muhammad al-Shabbagh, al-Hadits al-Nabawi,(Beirut:al-Maktab al-Islami,2003),hlm.222
[6] Zarkasih, op.cit. hlm.63
[7] M. Agus Solahudin, Ulumul Hadis,(Bandung: Pustaka Setia,2009.),hlm.143.
[8] M. syuhudi Isma’il, Kaidah Keshahehan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995),hlm.128.
[9] M. Agus Solahudin, op.cit. hlm.143
[10] Endang Soetari. Ilmu Hadis,(Bandung:Mimbar Pustaka, 2005).hlm.138
[11] Zarkasih, op.cit. hlm.65-66
[12] M. syuhudi Isma’il. Op..cit. hlm.134
[13] Zarkasih, op.cit. hlm.67.
[14] M. Agus Solahudin, op.cit. hlm.69
[15] Abu Zakariya Yahya ibn Syarf al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarah al-Nawawi,(Mesir:al-Mathba’ah al-Mishriyyah,1987).hlm.50
[16] Zarkasih, op.cit. hlm.70.
[17] Nuruddin, ’Ulum al-Hadits 2,(Bandung:Remja Rosdakarya,tth),hlm.3
[18]Zarkasih, op.cit. hlm.71
[19] Nuruddin, op cit,hlm.4
[20] Zarkasih, Op Cit, hlm.74
[21] Ibid
[22] Ibid, hlm.77.
[23] M. Agus Solahuddin, op.cit. hlm.148
[24] Idri, Study Hadis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 178.
[25] Zarkasih. Op.cit. hlm.178
[26]M. Agus Solahuddin. Op.cit.hlm.152
[27] Idri. Op.cit. hlm.194
[28] Zarkasih. Op.cit. hlm. 82
[29] ibid
[30] Ibid. hlm.83-84
[31]M. Solahuddin. Op.cit.hlm. 150
[32] Zarkasih. Op.cit. hlm.85
[33] Zarkasih. Op.cit. hlm.86-89
[34] Mudasir, Ilmu Hadis,(Bandung:Pustaka Setia,2008), hlm.165.
[35] Zarkasih. Op.cit. hlm.90

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Tulisan Kaca Marlinara

Powered By: Blogger| Edited By Coretan Binder Hijau