- Back to Home »
- Makalah »
- HADIS SHOHEH DAN HADIS DHA'IF
Posted by : tulisan kaca marlinara
Kamis, 21 November 2013
PENDAHULUAN
Hadis atau sunnah adalah sumber ajaran islam yang kedua setelah
Al-qur’an. Diamana keduanya mrupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku
dan perbuatan manusia. Untuk Al-Qur’an semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai
kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya sedangkan hadis Nabi
belum dapat dipertanggungjawabkan periwayatnnya bersa dari Nabi atau tidak.
Namun demikian hadis memiliki peranan dalam menjelaskan setiap ayat-ayat
Alqur’an yang turun baik yang bersifat Muhkamat maupunMutasabihat. Sehingga
hadis ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam
menguasai inti-inti ajaran Islam.
Dalam kondisi faktualnya terdapat hadis-hadis yang dalam periwatannya
yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah
hadis atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima); Shahih dan hasan. Namun
disisi lain terdapat hadis-hadis yang dalam periwayatannya tidak memenuhi
kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadis mardud (ditolak);
dhaif atau bahkan ada yang palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah adanya
upaya penelitian kritik Sanad maupun Matan oleh para ulama untuk yang memiliki
komitmen tinggi terhadap sunnah.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman orang yang menerima maupun
meriwayatkan hadis Rasulullah. Berbagai
macam hadis yang menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai
analisis atas kesahihan sebuah hadis baik dari segi putusnya Sanad dan tumpah
tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas sebuah
hadis.
Dari uraian diatas maka perlu mengetahui dan menindaklanjuti
metode-metode yang digunakan oleh para ulama hadis dalam menentukan kualitas
sebuah hadis, sehingga kita dapat membedakan mana hadis sahih,dan mana hadis
dhaif serta dapat mengetahui permasalahan-permasalahannya.
PEMBAHASAN
HADIS SHAHIH DAN HADIS DHA’IF
1. HADIS SHAHIH
A. Pengertian Hadis Shahih
Kata shahih secara bahasa berarti sehat,
selamat, benar, sah dan sempurna. para ulama biasa menyebut kata shahih ini
sebagai lawan kata saqam (sakit). Maka, hadis shahih secara bahsa adalah
hadis yang sehat, selamat, benar, sah, sempurna, dan tidak sakit. Secara
terminalogis hadis shahih adalah hadis
yang sanadnya bersambung,diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan
dhabit hingga bersambung kepada Rasulullah atau pada sanad terakhir berasal
dari kalangan sahabat tanpa mengandung syadz (kejanggalan) ataupun ‘illat
(cacat).[1]
Ibn Hajar Al-‘Asqalani dalam Nuzhah
al-Nazhar Syarh Nukhbah al-Fikar lebih ringkas mendefinisikan hadis shahih,
yaitu:
خبرُ الاحاد بنقل عدلٍ تام الضبطِ، متصلَ السند غيرَ معلَّلٍ
ولا شاذٍّ
“ hadis yang diriwayatkan oleh orang yang ‘adil,
sempurna ke dhabitannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat dan tidak
ber-syadz”.[2]
Jamaluddin al-Qasimi juga mendefinisikan dalam
kitabnya Qawa’id al-Tahdts min Funun Musthalah al-Hadits, hampir sama
dengan yang dikemukakan oleh Ibn Hajar, yaitu:
مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ
عَنْ مِثْلِهِ وَ سَلِمِ عِنْ شُذُوْذٍ وَ عِلَةٍ
“hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan dan diterima dari
periwayat yang ‘adil dan dhabit, serta selamat dari kejanggalan dan “illat”.[3]
Demikian
pula definisi yang dikemukakan oleh Imam ai-Nawawi juga hampir sama dengan
definisi di atas, yaitu:
مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ
عَنْ مِثْلِهِ إِلَى مُنْتَهَاهُ مِنْ شُذُوْذٍ وَ لاَ عِلَةٍ
“hadis
yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh orang-orang yang ‘adil dan
dhabit, terhindar dari syuduz dan ‘illat”.[4]
B. Kriteria Hadis Shaheh
Dari beberapa macam definisi yang
diutarakan oleh muhaddisin tentang hadis shoheh di atas, dengan kalimat yang
berbeda, namun tidak menunjukkan adanya perbedaan dalam pemahaman ciri hadis shaheh
tersebut. Dengan kata lain, bahwasannya sebuah hadis itu dikatakan shaheh jika
hadis tersebut memiliki kriteria-kriteria sebagai berikut:
1.
Bersambung sanadnya ( Ittishal al-Sanad)
Yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah tiap-tiap periwayat dalam
sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayatan terdekat sebelumnya,
keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad hadis itu.[5] Persambungan
sanad itu terjadi semenjak mukharrij hadits (penghimpun riwayat hadis
dalam kitabnya) sampai pada periwayatan pertama dari kalangan sahabat yang
menerima hadis yang bersangkutan dari Nabi. Dengan kata lain, sanad hadis
tersambung sejak sanad pertama samapai dengan sanad terakhir (kalangan sahabat)
hingga Nabi Muhammad, atau persambungan itu terjadi mulai dari Nabi pada
periwayatan pertama (kalangan sahabat) sampai periwayatan terakhir (mukharrij
hadits).[6]
Untuk mengetahuibersambung atau tidaknya suatu sanad, biasanya ulama
hadis menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:
·
Mencatat semua nama rawi dalam sanad yang
teliti.
·
Memepelajari sejarah hidup masing-masing
rawi.
·
Meneliti kata-kata yang menghubungkan
antara para rawi dan rawi yang terdekat dengan sanad.[7]
Kata-kata atau metode yang dipaki dalam sanad berupa: haddatsani,
haddatsana, akhbarani, akhbarana, sami’tu, ‘an, anna, dan sebagainya.[8]
Jadi, suatu sanad hadis dapat dinyatakan bersambung
apabila:
·
Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat
(adil dan dhabit).
·
Antara masing-masing rawi dengan rawi
terdekat sebelumnya dalam sanad itu
benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah menurut
ketentuan tahamul wa ada al-hadis.[9]
Melalui beberapa langkah di atas dapat
diketahui apakah sanad suatu hadis dinyatakan bersambung atau tidak.
Ketersambungan sanad itu diketahui apakah para periwayat yang dipastikan
benar-benar meriwayatkan hadis dari periwayat terdekat sebelumnya yang
diketahui melalui usia mereka, terjadinya hubungan guru dan murid, atau melalui
metode periwayatan yang mereka gunakan.
2.
Periwayat bersifat adil.
Menurut Ar-Razi, keadilan adalah tenaga
jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak takwa, menjauhi dosa-dosa besar,
menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil, meninggalkan perbuatan-perbuatan
mubah yang menodai maru’ah, seperti makan sambil berdiri di jalan, buang air
(kencing) yang bukan disediakan untuknya, dan bergurau yang berlebihan.[10]
Ulama berbeda pendapat tentang kriteria
periwayatan hadis tentang ‘adil. Al-Hakim
berpendapat bahwa seseorang disebut ‘adil apabila beragama islam, tidak berbuat
bid’ah dan tidak berbuat maksiat. Ibnu al-Shalah menetapkan lima kriteria
seorang perawi disebut ‘adil, yaitu beragama islam, baligh, berakal,
memelihara maru’ah dan tidak berbuat fasik. Pendapat serupa dikemukakan oleh
al-Nawawi. Sementara itu, Ibn Hajar al-‘Asqalani menyatakan bahwa sifat’adil
yang dimiliki seorang periwayat hadis yaitu takwa,memelihara maru’ah,
tidak berbuat dosa besar misalnya syirik, tidak berbuat bid’ah, dan tidak
berbuat fasik. [11]
Berdasarkan pernyataan para ulam di atas
diketahui berbagai kriteria periwayat hadis dinyatakan ‘adil, secara
akumulatif, kriteria-kriteria itu adalah:
1.
Beragama islam
2.
Baligh
3.
Berakal
4.
Takwa
5.
Memelihara maru’ah
6.
Teguh dalam beragama
7.
Tidak berbuata dosa besar
8.
Tidak berbuat maksiat
9.
Tidak berbuat bid’ah
10. Tidak berbuat fasik
Syuhudi Isma’il kemudian menyimpulkannya menjadi empat
kriteria yaitu:
1. Beragama islam
2. Mukallaf
3. Melaksanakan ketentuan agama
4. Memelihara muru’ah
Untuk mengetahui ‘adil tidaknya periwayat
hadis, para ulama hadis telah menetapkan beberapa cara yaitu:
a. Melalui popularitas keutamaan periwayat di kalangan ulama hadis.
Periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya atau tidak diragukan lagi ke
‘adilannya misalnya Malik ibn Anas dan Sufyan al-Tsawri.
b. Penilaian dari para kritikus periwayat hadis. Penilaian ini berisi
pengungkapan kelebihan (al-ta’dil) dan kekurangan (al-tajrih)
yang ada pada periwayat hadis.
c. Penerapan kaidah al-jarh wa ta’dil. Cara ini ditempuh apabila para
kritikus periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat
tertentu.[12]
3.
Periwayat Hadis Bersifat Dhabit
Secara bahasa dhabith berarti yang
kokoh, kuat, yang hafal dengan sempurna. kekuatan hafalan ini sama pentingnya
dengan keadilan. Kalau keadilan berkenaan dengan kapasitas pribadi, maka ke-dhabitan-an
terkait dengan kualitas intelektual. Sifat ‘adil dan sifat dhabith
berhubungan sangat erat. Seseorang yang ‘adil dengan kualitas pribadinya bagus,
misalnya jujur, amanah (dapat dipercaya), dan objektif tidak dapat diterima
informasinya apabila tidak mampu memelihara (hafalan terhadap) terhadap
infoermasi itu. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang mampu memelihara
hafalan dan faham terhadap informasi yang diketahuinya tetepi kalau ia tidak
jujur, pendusta, dan penipu, maka informasi yang disampaikannya tidak dapat
dipercaya. Karena itu, oleh para ulama hadis keadilan dan ke-dhabith-an
periwayat hadis kemudian dijadikan satu dengan istilah tsiqah. Jadi,
periwayat yang tsiqah adalah periwayat yang ‘adil dan dhabit.[13]
Bila seseorang mempunyai ingatan yang kuat,
sejak menerima hingga menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup
dikeluarkan kapan dan di mana saja dikehendaki, orang itu dinamakan dhabit
shadri. Kemudian, kalau apa yang disampaikan itu berdasar pada buku
catatannya (teks book) ia disebut dhabitu kitab.[14]
Periwayat yang dhabith dapat
diketahui melalui beberapa cara. Cara untuk mengetahui ke-dhabit-an periwayat
hadis menurut berbagai pendapat ulam adalah:
·
Ke-dhabith-an periwayat dapat
diketahui berdasarkan kesaksian ulama.
·
Ke-dhabith-an periwayat dapat
diketahui juga berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang
disampaikan oleh periwayat lain telah dikenal ke-dhabith-annya, baik
kesesuaian itu sampai tingkat makna maupun sampai tingkat harfiah.
·
Periwayat yang sekali-kali mengalami
kekeliruan, tetap dinyatakan dhabith asalkan kesalahan itu sering terjadi. Jika
ia sering mengalami kekeliruan dalam riwayat hadis, maka tidak disebut dhabith.[15]
Periwayat yang kurang dhabith adalah
periwayat yang hafal hadis yang diriwayatkan tetapi sesekali mengalami
kekeliruan dalam menyampaikan hadis itu kepada orang lain. Hadis yang
disampaikan periwayat yang kurang dhabith dapat dikelompokkan pada hadis
hasan. Periwayat disebut tidak dhabith apabila tidak hafal
terhadap hadis yang diriwayatkan atau banyak mengalami kekeliruan dalam
meriwayatkan hadis dan hadis yang diriwayatkannya dinyatakan sebagai hadis dha’if.
4.
Tidak syadz (janggal)
Secara bahasa, syadz merupakan isim fa’il
dari syadzadza yang berarti menyendiri (infarada). Menurut
istilah ulama, hadis syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang
periwayat yang tsiqah tetapi bertentanagan dengan riwayat lain yang
lebih tsiqah, atau bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh banyak
perawi yang bersifat siqat.[16]
Kondisi ini dianggap rancu atau janggal karena bila ia berbeda dengan rawi lain
yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya hapalannya atau jumlah
mereka lebih banyak, maka perawi yang lain itu harus diunggulkan, maka disebut syadzdz
atau janggal. Dan karena kerancuannya maka timbullah penilaian negatif terhadap
periwayataan hadis yang bersangkutan.[17]
5.
Tidak ber’illat
‘illat secara bahasa berarti cacat, kesalahan
baca, penyakit dan keburukan. Menurut istilah ilmu hadis, ilat adalah sebab
yang tersembunyi yang dapat merusak keshahehan hadis.[18]
Menurut al-Khatib al-Baghdadi, cara untuk
mengetahui ‘illat hadis adalah dengan menghimpun seluruh sanadnya,
melihat perbedaan diantara para periwayatnya, dan memperhatikan status hafalan,
keteguhan, dan ke-dhabith-an masing-masing periwayat. Al-Hakim
al-Naysaburi berpendapat, acuan utama penelitian ‘illat hadis adalah hafalan,
pemahaman, dan pengetahuan yang luas tentang hadis.
Kelima syarat diatas merupakan tolak ukur
untuk menetukan suata hadis itu Shahih atau tidak. Apabila kelima syarat
tersebut dapat terpenuhi secara sempurna, maka hadis tersebut dinamakan dengan
hadis Shaheh, bahwa faktor keadilan dan ke-dhabith-an rawi dapat menjamin
keaslian hadis yang diriwayatkan seperti keadaanya ketika hadis itu diterima
dari orang yang mengucapkannya. Bersambung sanad dengan para rawinya yang kondisinya
demikian akan dapat menghindarkan tercemarnya hadis yang yang bersangkutan
dalam perjalanannya dari Rasulillah saw sampai rawi terakhir. Tidak adanya
kejanggalan dalam matan atau sanad itu merupakan bukti keaslian dan ketepatan
hadis yang bersangkutan serta menunjukkan bahwa padanya tidak terdapat hal-hal
yang mencurigakan. Tidak adanya cacat menunjukkan keselamatan hadis yang bersangkutan
dari hal-hal samar membuatnya cacat setelah dihadapkan kepada syarat-syarat
keshahehan lainnya yang berfungsi untuk meneliti factor-faktor kecacatan
lahiriah. Dengan demikian jelaslah bahwa hadis yang shaheh itu karena telah
terpenuhinya faktor keshahehan riwayat dan terbebasnya hadis tersebut dari
hal-hal yang bias membuatnya cacat, baik samar maupun cacat.[19]
C. Macam-macam Hadis Shahih
Para ulama membagi hadis shahih menjadi dua macam,
yaitu:
a. Hadis Shahih li Dzatihi
hadis shahih li dzatihi dan hadis shahih
li ghairihi. Hadis shahih li dzatihi adalah hadis yang memenuhi
kriteria-kriteria hadis shahih yang lima sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
yaitu hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil
dan sifat dhabith, serta terlepas dari syadz dan ‘illat.
Hadis shahih katagori ini dihimpun oleh para mudawwin hadis seperti
al-Bukhari, dalam kitabnya shahih al-Bukhari, Muslim ibn al-Hajjaj dalam
Shahih Muslim, Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud, Ahmad ibn Hanbal
dalam Musnad Ahmad dan lain sebagainya.[20]
b. Hadis Shahih li Ghairihi
Hadis shahih li ghairihi adalah
hadis yang keshahihannya dibantu oleh adanya hadis lain. Pada mulanya hadis
katagori ini memiliki kelemahan berupa periwayatan yang kurang dhabith,
sehingga dinilai tidak memenuhi syarat untuk dikatagorikan sebagai hadis
shahih. Tetapi, setelah diketahui ada hadis lain dengan kandungan matan yang
sama dan berkualitas shahih, maka hadis tersebut naik derajatnya menjadi
shahih. Dengan kata lain, hadis shahih li ghairihi pada asalnya adalah
hadis hasan yang karena ada hadis shahih dengan matan yang sama, maka
hadis hasan naik menjadi hadis shahih[21]
2. HADIS DHA’IF
A. Pengertian Hadis Dha’if
Kata dha’if menurut bahasa berarti ‘lemah’,
sebagai lawan dari qawi (yang kuat). Sebagai lawan kata shahih, kata
dha’if juga berarti saqim (orang yang sakit). Maka sebutan hadis dha’if
secara bahasa berarti hadis yang lemah, yang sakit, dan yang tidak kuat.[22]
Adapun secara terminalogis menurut
muhadditsin adalah:
هُوَ كُلُّ حَدِيْثٍ لَمْ تَجْمَعْ فِيْهِ صِفَاتُ
الْقَبُوْلِ. وَقَالَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ هُوَمَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَةَ
الصَّحِيْحِ وَ الْحَسَنِ.
“Hadis dha’if adalah semua hadis yang tidak terkumpul padanya
sifat-sifat bagi hadis yang diterima dan menurut paendapat kebannyakan ulama:
hadis dha’if adalah hadis yang tidak terkumpul padanya sifat hadis shahih dan
hasan”.[23]
Pada
definisi tersebut terlihat bahwa, kriteria-kriteria hadis dha’if adalah tidak
memenuhi salah satu dari kriteria hadis shahih dan hadis hasan. Sehingga hadis
dha’if biasa terjadi karena tidak terpenuhinnya salah satu atau beberapa unsur
tersebut, yaitu: sanadnya terputus, periwayatnya tidak adil, periwayatnya tidak
dhabit, mengandung syadz dan mengandung ‘illat.
B. Macam-macam Hadis Dhaif
1. Hadis Dha’if Karena Sanadnya terputus
Terputusnya atau gugurnya suatu sanad,
mungkin berada di awal sanad, mungkin di
pertengahan, mungkin di akhirnya dan mungkin seluruhnya, serta masih banyak
lagi kemungkinan letak terputusnya. Dalam kaitan denagan keterputusan sanad
terbagi menjadi terbagi menjadi beberapa bagian , yaitu:
a. Hadis mu’allaq
Hadis mu’allaq adalah hadis yang terputus
di awal sanad. Kata mu’allaq secara bahsa berarti tergantung.[24]
Secara terminalogis, hadis mu’allaq adalah hadis yang periwayatnya di awal
sanad (periwayat yang disandari oleh penghimpun hadis) gugur atau terputus
seseorang atau lebih secara berurut. Patokan tentang keterputusannya terletak
pada awal sanad baik seorang periwayat atau lebih. Jika lebih, maka
keterputusan itu harus secara berurutan. Ini berarti, seandainya yang terputus
bukan di awal sanad atau beberapa periwayat yang gugur tidak secara berurutan,
maka hadis itu tidak dinamakan mu’allaq.[25]
Hadis
mu’allaq disebut hadis dha’if karena rangkaian sanadnya hilang atau terputus,
sehingga tidak diketahui identitas dan kualitas para periwayat yang
sesungguhnya.
b. Hadis Munqhati’
Kata munqathi’ berasal dari bentuk kata
kerja inqatha’a yang berarti berhenti, kering, kering, patah, pecah atau
terputus. Secara istilah hadis mungqathi’ adalah hadis yang di tengah sanadnya
ada periwayatanya yang gugur seseorang atau dua orang tidak secara berurutan.
Keterputusan pada hadis munqathi’, menurut
para ulama hadis, dapat terjadi pada thabaqat (generasi) kedua, ketiga, atau
keempat, satu orang atau lebih tetapi tidak berturut-turut. Jika terputus pada
generasi pertama, hadisnya disebut mursal dan jika berturut-turut pada generasi
kedua, ketiga atau keempat, maka hadisnya dinamakan mu’dhal.
c. Hadis Mursal
Mursal,
menurut bahasa, merupakan isim maf’ul, yang berarti “yang dilepaskan”.[26] Secara
terminalogis, mayoritas ulama hadis mendefinisikan hadis mursal adalah hadis yang disandarkan
langsung kepada Nabi oleh seorang tabi’in, tanpa terlebih dahulu disandarkan
kepada sahabat Nabi.[27]
d. Hadis Mu’dhal
Hadis mu’dhal adalah hadis yang
gugur dua orang sanadnya atau lebih secara berurutan. Hadis mu’dhal merupakan
hadis dha’if yang terendah nilainya dibandingkan dengan hadis mursal dan
munqathi’ karena banyaknya hilang perawi dari sanadnya. Karena itu hukum hadis
mu’dhal tidak dapat dijadikan hujjah dan dipandang mardud.
e. Hadis Mauquf dan Hadis Maqthu’
Hadis mauquf adalah hadis yang disandarkan
kepada sahabat nabi atau hadis yang diriwayatkan dari para sahabat berupa
perkataan, perbuatan atu persetujuan. Dilihat dari arti bahasa, kata mauquf
berasal dari kata waqafa-yaqifu yang berarti dihentikan atau diwakafkan.
Hadis jenis ini dihentikan penyandarannya kepada sahabat dan tidak sampai pada
Nabi.[28]
Hadis maqthu’ berasal dari kata qatha’a
(memotong) lawan kata wasahala (menghubungkan). Secara istilah berarti hadis
yang disandarkan kepada seorang tabi’in atau sesudahnya baik perkataan maupun
perbuatan, atau hadis yang diriwayatkan dari tabi’in berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan. Dengan
kata lain, hadis maqthu’ adalah perkataan, perbuatan, atau ketetapan tabi’in
atau orang sesudah mereka.
Disebut maqthu’ karena hadis itu terpotong,
yaitu sandarannya dipotong hanya sampai pada tabi’in. menurut al-Sakhwi,
sesuatu hadis disebut maqthu’ karena tidak ditemukan adanya qarinah yang
menunjukkan bahwa hadis itu disandarkan kepada Nabi saw.[29]
2. Hadis Dha’if karena Periwayatnya Tidak ‘Adil
a.
Hadis Mau’dhu’
Hadis Maudhu’ adalah hadis dusta yang
dibuat-buat dan dinisbahkan kepada Rasulullah saw. Sebagaian ulama menilai
hadis ini sebagai hadis dha’if yang paling buruk, dan ulama lain tidak
memasukkannya sebagai bagian hadis dhaif, tetapi berdiri sendiri. Ulama bersepakat bahwa dilarang mengamalkan
dan meriwayatkan hadis palsu kecualai disertasi penjelasan tentang
kepalsuannya.
Kriteria hadis maudhu’ cukup banyak berbeda
dengan kriteria hadis lain yang relative lebih sedikit dan dikalangan ulama
tidak ditentukan secara terperinci. Setelah dilakukan pengkajian secara garis
besar kriteria hadis palsu dapat dipaparkan sebagai berikut:[30]
Kriteria sanad:
1. Pengankuan periwayat (pemalsu hadis)
2. Bertentangan dengan realita historis periwayat
3. Periwayat pendusta
4. Keadaan periwayat dan dorongan psikologisnya.
Kriteria matan:
1. Buruk lafal (redaksi)nya.
2. Rusak maknannya, disebabkan oleh, pertama: bertentangan dengan
dalil-dalil syar’I dan kaidah-kaidah dan hukum. Kedua: bertentangan dengan
realita, ketiga: bertentangan dengan akal pikiran dan yang kekempat: adanya
bukti yang sah tentang pemalsuannya.
b.
Hadis Matruk
Hadis matruk adalah dalah hadis yang
diriwayatkan oleh orang yang tertuduh berdusta dalam meriwayatkan hadis, atau
orang yang suka berdusta dalam berbicara, atau orang yang jelek selahannya,
banyak kelengahannya dan tampak kefasikannya[31]
c.
Hadis Munkar
Hadis munkar adalah hadis yang diriwayatkan
oleh perawi yang dha’if, kemudian hadis itu riwayat dan isinya bertentangan
dari yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah.
Apabila hadis yang diriwayatkan oleh orang
yang dha’if itu tidak menyalahi dengan yang dibandingkan dengan hadis-hadis
dha’if lainnya, maka hadis matruk merupakan hadis dha’if yang paling rendah.
3. Hadis Dha’if Karena Periwayatnnya Tidak Dhabith
a.
Hadis Mudallas
Mudallas berasal dari kata dallasa yang
secara bahasa berarti menipu atau menyembunyikan yang cacat, mudallas berarti
yang terdapat di dalamnya tipuan atau cacat. Menurut istilah, hadis mudallas
adalah hadis yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadis itu
tidak cacat. Periwayat yang menyembunyikan cacat disebut al-mudallis,
hadisnya disebut al-mudallas, dan perbuatan menyembunyikan disebut at-tadlis.
Secara umum, tadlis ada dua macam yaitu:
1.
Tadlis isnad adalah, periwayat hadis menyatakan telah
meneriama hadis dari periwayat tertentu yang sezaman dengannay padahal mereka
tidak pernah bertemu atau mungkin saja
mereka pernah bertemu tetapi antara mereka tidak pernah atau pernah
diragukan pernah terjadi kegiatan penyampaian periwayatan hadis
2.
Tadlis al-syuyukh adalah, periwayat hadis menyebut secara
salah identitas guruyang menyampaikan hadis kepadanya. Kesalahan penyebutan itu
mungkin berkenaan dengan nama, gelar family, julukan, sifat, atau nama negri
guru tersebut. Kesalahan penyebutan identitas mungkin dilakukan secara sengaja
dengan maksud agar riwayatnya tampak berkualitas lebih kuat sebab guru yang
lemah itu tidak diketahui identitas dan kelemahannya.[32]
b.
Hadis Mudraj
Hadis mudraj bersal dari adraja yang
berarti menyisipkan. Menurut istilah ilmu hadis, mudraj adalah hadis yang
bentuk sanadnya diubah atau kedalam matannya dimasukkan sesuatu kata atau
kalimat yang sebetulnya bukan bagian
dari hadis tersebut tanpa ada tanda pemisah.
c.
Hadis maqlub
Hadis maqlub adalah hadis yang diriwayatkan dengan cara mengganti kata
dengan kata lain baik pada sanad maupun matannya. Kata maqlub bersal dari kita al-qalb yang
berarti mengubah sesuatu dari keberadaannya. Jadi, hadis maqlub adalah hadis
yang didalamnya periwayat menukar suatu kata atau kalimat dengan kata atau
kalimat lain.
d.
Hadis Mazid
Jika sebuah hadis mendapat tambahan kata
atau kalimat yang bukan berasal dari hadis itu baik dari pada sanad maupun
matan, maka hadis itu disebut mazid. Kata mazid sendiri merupakan isim maf’ul
dari kata al-ziyadah (tambahan). Tambahan dapat terjadi pada sanad atau matan.
Tambahan pada sanad dilakukan dengan menambahkan nama periwayat.
e.
Hadis Mudhtharib
Kata al-mudhtharib berasal dari kata
al-idhtharab yang berarti kekacauan sesuatu dan kerusakan aturannya. Menurut
istilah, mudhtharib adalah hadis yang diriwayatkan dengan cara yang
berbeda-beda, tetapi sama dalam kekuatannya. Maksudnya, hadis yang diriwayatkan
dengan bentuk yang bertentangan dan berbeda serta tidak mungkin dilakukan
kompromi. Seluruh riwayat hadis itu sama kekuatannya dari segala sisi sehingga
tidak mungkin dilakukan tajrih antara kedua bentuk hadis itu.
f.
Hadis Mushahhaf
Kata mushahhaf berasal dari bahasa arab
al-tashhif yang berarti salah dalam membaca lembaran. Kata al-shahhafi berarti
orang yang salah dalam membaca lembaran dengan mengubah sebagian redaksinya
karena salah dalam membaca.
g.
Hadis Majhul
Kata majhul yang disebut al-jahalah bi
al-rawi, berasal dari kata jahila lawan kata ‘alima yang berarti bodoh, tidak
mengetahui. Menurut istilah, majhul adalah hadis yang tidak diketahui jati diri
periwayat atau keadaannya. Dalam hal ini periwayat tidak diketahui jati diri
dan kepribadiannya atau kepribadiannya diketahui tetapi tidak diketahui
keadilan atau kedhabithannya.[33]
4. Hadis Dha’if karena Mengandung Syadz
Secara bahasa, syadz merupakan isim fa’il
dari syadzadza yang berarti menyendiri (infarada) dan yang
dimaksud adalah al-munfaridu ‘anil jumhur (sesuatu yang menyendiri
terpisah dari mayoritas).
Menurut istilah, syadz adalah hadis yang
diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan tetapi bertentangan (matannya) dengan
periwayatan dari orang yang kualitasnya lebih utama.[34]
5. Hadis Dha’if karena Mengandung ‘Illat (Cacat)
Jika dalam sebuah hadis terdapat cacat
tersembunyi dan secara lahiriah tampak shahih, maka hadis itu dinamakn hadis
mu’allal, yaitu hadis yang mengandung illat. Secara bahasa, kata ‘illat berarti
cacat, penyakin dan keburukan. Menurut istilah ahli hadis berarti sebab yang
tersembunyi yang dapat meruak keshahehan hadis.
Suatu ‘illat dapat terjadi pada sanad, pada
matan, atau pada sanad dan matan sekaligus. Akan tetapi yang terbanyak ‘illat
terjadi pada asanad. Masing-masing hadis, baik ‘illatnya terjadi pada sanad,
matan, maupun pada keduanya sekaligus disebut dengan hadis mu’allal.[35]
[1] Zarkasih, Studi Hadis,(Yogyakarta:Aswaja
Pressindo,2011.)hlm. 61-62.
[2] Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-asqalan,
Nuzhah al-Nazhar Syarh Nukhbah al-Fikar,(semarang: Maktabah
al-Munawarah,tth.)hlm.51.
[3] Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Qawa’id
al-Tahdits min Funun Musthalah al-Hadits,(Beirut: Dar
al-Kutubal-‘Ilmiyah,1979),hlm.79.
[4] Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadis,(Pekanbaru:Perpustakaan
Nasional,2006.),hlm.82.
[5] Muhammad al-Shabbagh, al-Hadits
al-Nabawi,(Beirut:al-Maktab al-Islami,2003),hlm.222
[6] Zarkasih, op.cit. hlm.63
[7] M. Agus Solahudin, Ulumul Hadis,(Bandung: Pustaka
Setia,2009.),hlm.143.
[8] M. syuhudi Isma’il, Kaidah
Keshahehan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995),hlm.128.
[9] M. Agus Solahudin, op.cit. hlm.143
[10] Endang Soetari. Ilmu Hadis,(Bandung:Mimbar
Pustaka, 2005).hlm.138
[11] Zarkasih,
op.cit. hlm.65-66
[12] M.
syuhudi Isma’il. Op..cit.
hlm.134
[13] Zarkasih,
op.cit. hlm.67.
[14] M. Agus Solahudin, op.cit.
hlm.69
[15] Abu Zakariya Yahya ibn Syarf
al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarah al-Nawawi,(Mesir:al-Mathba’ah
al-Mishriyyah,1987).hlm.50
[16] Zarkasih,
op.cit. hlm.70.
[17] Nuruddin, ’Ulum al-Hadits 2,(Bandung:Remja
Rosdakarya,tth),hlm.3
[18]Zarkasih, op.cit. hlm.71
[19] Nuruddin, op cit,hlm.4
[20] Zarkasih,
Op Cit, hlm.74
[21] Ibid
[22] Ibid, hlm.77.
[23] M. Agus Solahuddin, op.cit.
hlm.148
[24] Idri, Study Hadis, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 178.
[25] Zarkasih. Op.cit. hlm.178
[26]M. Agus Solahuddin. Op.cit.hlm.152
[27] Idri. Op.cit. hlm.194
[28] Zarkasih.
Op.cit. hlm. 82
[29] ibid
[30] Ibid. hlm.83-84
[31]M. Solahuddin. Op.cit.hlm.
150
[32] Zarkasih.
Op.cit. hlm.85
[33] Zarkasih.
Op.cit. hlm.86-89
[34] Mudasir, Ilmu Hadis,(Bandung:Pustaka
Setia,2008), hlm.165.
[35] Zarkasih.
Op.cit. hlm.90